Sabtu, 03 September 2011

Puisi-puisi M. Nurcholis

Puisi-puisi M. Nurcholis


Empat Sonet tentang Cinta dan Kehidupan
Sonet 1:
Waktu-waktu semakin memburu tak peduli dengan apa kesepian harus ditemani. Takdir, semata bukanlah permainan dadu Yang membawa engkau kepada pangkal mati.
Tunjukkanlah kepadaku gerimis paling manis yang menerpa dedaunan kemalu-maluan. Engkau yang sedang bermain dengan tangis, Dapatkah kau cegah suatu kehilangan?
Aku takkan lagi menunggu sebab waktu takkan pernah bersahabat dengan segala sakit dan kelu dengan segala jiwa yang telah sekarat.
Bila segala sesuatu ditakdirkan untuk mati Ketahuilah, aku pernah menantimu di suatu sudut hati ini.

2010

Sonet 2: Bahkan sebelum tanggal, bunga adalah kuncup sebelum mekar. Menanti waktu, mengukur usia dalam tiap musim yang berteman dengan tiup angin lelah, sebab cuaca sedang tidak akur.
"sebagaimana pepohonan, manusia bertumbuh" demikian jelasmu terhadap usia yang semakin jenjang semacam pepohonan melupakan biji lalu tumbuh Kita telah sama meranum, menunggu senja menjelang.
Bahwa awan telah memberikan kesempatan kepada langit untuk menangis Aku mungkin bisa menunggu pepohonan untuk terus tumbuh lagi berbuah manis.
Bukankah petang takkan pernah ingkar dengan malam Serta zaman akan menunggu waktu menjadi silam? 2010
Sonet 3
Adalah tahun-tahun yang menjadi penanda bahwa waktu senantiasa berjalan menuju ke depan. Kita terperangkap pada waktu yang berbeda aku telah berlari sebelum engkau belajar berjalan.   Ketahuilah bahwa masa hanyalah masalah takdir engkau yang menunggui mimpi, dengan apa akan kusapa? Maka, sejenaklah meletakkan angan, lalu lihatlah pasir Bukankah dahulu ia batu  besar yang sekeras kuarsa?   Dunia bukanlah tempat bagi mereka yang terus mengharap, mereka-reka tentang siapa takdir bagi kekasihnya. "Apakah engkau akan terus berdiam, dalam dingin dan gelap serta usia yang kian berkarat menunggu batas senja?"   Bila tiap manusia mendapatkan jodoh yang diinginkannya, barangkali surga takkan pernah ada dan dicipta.

Sonet 4:
Belajarlah menggapai ketulusan pada cahaya yang takkan pernah berkhianat kepada penglihatan. Kemudian, setialah kepada ruang—yang terus ada menampung semua materi serta kehidupan.   "Adakah yang lebih tiris dari kemarau sesudah hujan?" Engkau bertanya, seolah hidup adalah mimpi, lalu kita akan terbangun pada suatu zaman dimana kenyataan telah menunggu ditemani sepi.   Kali ini, sejenaklah peluk kesendirian itu diantara dekapan tangan yang semakin longgar, semakin kendur sebab kesendirian telah tau: Ia akan terus sendiri sedang engkau akan berlayar.   Segala sesuatu akan terus datang lalu pergi, engkau, bersiapkah menemani pada tiap sepi?    2011   Kita Masih Memandang Langit yang Sama
tidak ada jarak yang menimbulkan ketenangan ia telah mencipta kerinduan paling lubuk dari jalanan yang tertukar oleh kenangan
kita berjarak, dari degup gunung bertabuh, dari hujan abu yang menebarkan tangisan peluh "aku magma pekat menahan gejolak, kau kepundan gunung menahan gemuruh" kita bertaruh, siapa yang hendak musnah di antara kita sebab bumi akan menahan magma, atau kepundan yang menjadi kaldera
tidak ada jarak yang melahirkan kebencian ia terus memupuk keinginan, pertemuan sendu yang mendaras rindu
kita berjarak namun kita merasa dekat di langit, gemintang masih bertabur riang bulan tengah bercumbu dengan awan
tak ada jarak bagi kita sebab rindu telah lunas oleh benda yang sama kita rasa
Kita masih memandang langit yang sama.

2010

Biodata
M. Nurcholis lahir pada 22 Juni 1986 di kota Cilacap. Tergabung dalam Komunitas Penulis Muda dan Epistoholik STAN. Beberapa Cerpen dan Puisinya pernah dimuat di Harian Global, Jurnal Medan dan Suara Pembaruan. Buku kumpulan cerpennya bersama Nana Sastrawan dkk. berjudul Hampir Sebuah Metafora terbit tahun 2011