Sabtu, 23 Oktober 2010

Korban Balas Dendam



Cerpen: Sam Edy Yuswanto
Buk! Buk! Buk! Pukulan itu bertubi-tubi mendarat di bagian punggung dan kepalaku. Aku meringis dan meraung kesakitan, kedua mataku berkunang-kunang, dan... semua terasa gelap.

Mungkin tak ada orang yang tahu, kalau namaku masuk daftar salah satu korban anak hilang yang diberitakan televisi dan berbagai media cetak akhir-akhir ini. Malah, tadi pagi, sambil sarapan pagi, perempuan berwajah manis berambut hitam lurus, penyiar berita pagi itu mengabarkan bahwa aku bukan hanya korban hilang, tapi juga termasuk salah satu dari 27 korban yang tewas mengenaskan setelah sebelumnya dibunuh, disodomi, dimutilasi, lalu serpihan-serpihan tubuhnya dikubur di belakang rumah lelaki renta keparat yang beberapa minggu terakhir ini wajahnya selalu menghiasai layar kaca.

Huek! Suapan makanan yang belum sepenuhnya masuk perut itu mendadak buncah dari mulutku saat kulihat lelaki yang ternyata bernama Wagino itu tersenyum malu-malu saat disuruh mempraktekkan cara dia beraksi menggagahi bocah-bocah ingusan itu di layar televisi. Mendadak kenangan-kenangan yang berawal manis dan berakhir teramat getir itu kembali terlintas dan mengantri tak sabar di batok kepalaku yang licin, imbas dari lemak yang bersarang di tubuhku. Bayangan-bayangan masa silamku kembali hadir seperti sebuah rol film yang kembali diputar ulang. Masih jelas di memori ingatanku, saat itu, sewaktu ibuku membawaku serta berbelanja ke salah satu supermarket di kotaku. Sepulang belanja, saat nunggu angkot pulang, aku merengek-rengek minta dibelikan es krim sama ibuku.

"Kamu tunggu sini sebentar ya, ibu akan belikan kamu es krim, jangan pergi kemana-mana," pesan ibu sebelum dengan tergesa berbalik ke supermarket itu lagi untuk membelikanku es krim.

Tak berselang lama setelah ibuku masuk gerbang supermarket megah itu, seorang lelaki paruh baya menyentuh pundakku sambil menyodorkan es krim warna pink yang langsung membuat air liurku berebut menetes dari bibirku.

"Buat kamu, anak manis," kata lelaki itu tersenyum ramah. Aku bergeming, seraya memandangi wajah lelaki itu dengan ragu. Walau hatiku terus memaksa tangan kananku untuk meraih es krim yang membuat rasa hausku mencapai puncak dahaga yang tak terwakilkan kata-kata.