Jumat, 08 Juni 2012

Lupa Judulnya


Oleh Isbedy Stiawan ZS   
Jumat, 07 Agustus 2009 09:55
TANPA mudik sebenarnya aku tetap ada. Sebab itu bukan karena aku ingin dikatakan ada, maka aku harus mudik. Tersebab aku punya keluarga di kampung kelahiran membuatku seakan wajib mudik setiap Idul Fitri. Terutama sekali hanya saat Idul Fitri aku bisa izin bekerja beberapa hari untuk memohon maaf, sungkem, dan mengharap wasilah dari orang tua—utamanya emak. Kata para tetua, restu ibu adalah pintu sukses bagi seorang anak.
Jadi aku menampik anggapan bahwa mudiklah yang menjadikan aku tetap ada. Apakah jika aku tak mudik maka adaku tiada? Nanti dulu. Untuk apa aku memburu adaku dengan bermudik hingga berdesak-desakan di terminal, di bandara, ataupun di stasiun? Belum lagi harus antre berjam-jam di sana untuk mendapatkan tiket, lalu berpayah-payah lagi di perjalanan. Kalau aku menggunakan kendaraan pribadi, pengorbanan juga tak kecil. Apa untuk sekadar dikatakan ada, lalu aku mudik? Mudik bukan cuma perjalanan badan, melainkan spiritual untuk memeroleh berkah. Mudik sama artinya perjalanan silaturahim, ziarah hati dan ampunan. Tak bisa disamakan untuk mendapatkan tiket ada saja. Itulah mengapa aku selalu bersikeras mengajak istri dan ketiga anakku setiap jelang Idul Fitri. Bergantian mengunjungi keluarga: misalnya tahun ini ke rumah emak, tahun depan ke rumah keluarga istri.
“Ibu adalah perahu untuk membawa anak ke dermaga kebahagiaan di dunia dan akhirat,” kata emak sewaktu aku masih lajang.